Kondisi sakit menyebabkan seseorang membutuhkan pelayanan perawatan kesehatan untuk dapat kembali pulih dan mampu melakukan berbagai aktivitas yang masih bisa dilakukan seperti sebelum sakit. Kebutuhan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan (rumah sakit) membutuhkan berbagai pertimbangan; rumah sakit mana yang baik, siapa dokter yang menangani, berapa biaya yang dibutuhkan, prosedur apa yang harus dilalui.
Bicara masalah akses terhadap fasilitas kesehatan, tentunya isu ini menjadi tidak penting di kota besar karena fasilitas yang tersedia sangat banyak, namun tidak demikian di beberapa wilayah lainnya.Bicara masalah ketersediaan tenaga medis, terjadi gap ratio yang cukup lebar antara kota dan daerah "pinggiran"
Bicara masalah akses finansial, disadari bahwa kondisi sakit dapat merubah suatu keadaan finansial, dari berkecukupan menjadi kekurangan karena diberbagai belahan dunia tingkat inflasi pada biaya kesehatan senantiasa lebih tinggi dari rata-rata inflasi pada umumnya. Penerapan system asuransi kesehatan diharapkan dapat menjawab kendala ini, sehingga produktifitas tetap terjaga karena seseorang tidak perlu khawatair bahwa pendapatan yang diperoleh dari hasil bekerja akan musnah saat mengalami sakit dan membutuhkan perawatan. Menyadari hal ini Pemerintah dengan segala keterbatasan dan tantangan yang ada telah menetapkan kebijakan pemberlakuan system Jaminan Kesehatan Nasional melalui UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN (sistem jaminan sosial nasional) dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial)
Bicara masalah Prosedur, tentunya dengan penerapan sistem asuransi kesehatan akan ada beberapa prosedur yang harus dipahami oleh peserta, hal ini menjadi tantangan tersendiri bagaimana mengedukasi peserta asuransi dengan jumlah terbesar di dunia (bila universal coverage tercapai) untuk bisa paham bagaimana mekanisme asuransi yang diterapkan.
Konektivitas keempat unsur dalam system pembiayaan kesehatan menjadi penentu dalam keberlangsungan dan kecukupan pembiayaan kesehatan untuk mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Keempat unsur itu adalah Peserta (masyarakat), BPJS (asuransi), Faskes (Puskesmas, RS, dsb), Sistem tata kerja / "aturan main" (mekanisme pelayanan dan pembayaran).
Berfokus pada konektivitas BPJS - Faskes, hubungan antara dua pihak ini dalam system pembiayaan kesehatan sangat erat dan tak dapat dipisahkan, walau terkadang sering terdapat suatu hubungan "Benci tapi rindu". Aturan main yang jelas, komunikasi yang intens dari BPJS, dan nilai ganti jasa yang memadai akan tetap menjadi isu-isu kedepan yang akan dituntut oleh provider ke BPJS. disisi lain isu-isu Patient safety, cost effectiveness, dan antifraud merupakan beberapa harapan yang ditumpukan BPJS kepada provider.
Patient safety dan cost effectiveness dalam kerangka pelayanan kesehatan yang patient-centered akan menjadi "bahasa utama" di setiap lini pelayanan kesehatan. Banyak upaya-upaya yang dikembangkan untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang aman dengan biaya yang terjangkau. Upaya penerpan Discharge Planning (perencanaan perawatan dan pasca rawat inap) merupakan salah satu upaya yang bisa diterapkan. Mengapa Discharge Planning penting bagi provider (RS/Dokter keluarga/Puskesmas) maupun bagi BPJS, setidaknya gambaran skema berikut dapat menjelaskan.
Discharge planning (DP) menjadi tool yang sangat penting dalam keberlangsungan perawatan pasien, dengan DP akan terjadi komunikasi berlapis antara petugas kesehatan dengan pasien, petugas kesehatan dengan petugas kesehatan, maupun petugas kesehatan di rumah sakit dengan petugas kesehatan di pelayanan primer. Pelayanan kesehatan pasien tidak hanya sampai dengan rawat inap (in patient) tapi akan dilanjutkan dengan pelayanan rawat jalan (out patient), dalam peralihan dari perawatn inap ke rawat jalan tentu ada beberapa potensi kesalahan yang dapat terjadi bila DP tidak dijalankan dengan baik. Beberapa potensi error yang dapat terjadi antara lain medication continuity of care, test follow up error, dan work up error (Moore, C., et al., 2002). Setelah menjalani perawatan beberapa di resepkan oleh dokter yang merawat, bila obat ini tidak dicatat dengan baik pada DP, maka bisa jadi obat yang diresepkan dokter di pelayanan rawat jalan tidak sesuai dengan perencanaan bahkan dapat membahayakan pasien. Beberapa pemeriksaan penunjang dibutuhkan dan belum sempat dilakukan saat rawat inap diharapkan dilakukan saat rawat jalan, jika tidak ada DP yang baik kemungkinan program pemeriksaan penunjang tidak dilakukan. Beberapa tindakan medis diperlukan pasca rawat inap, rencana ini harus terdokumentasikan dan terkomunikasikan dengan dokter di pelayanan rawat jalan atau pelayanan primer sehingga pasien akan memperoleh kepastian jaminan pelayanan kesehatan yang aman.
Keamanan pelayanan kesehatan juga menjadi perhatian utama bagi pihak BPJS, selain dapat memberikan kesembuhan kepada peserta nya, keamanan pasien juga akan berkorelasi dengan upaya cost effectiveness. Terjadinya error dalam pelayanan kesehatan akan menyebabkan terjadi bahaya (adverse event) bagi pasien, bila kondisi ini terjadi tentunya pasien akan dirawat lagi (rehospitalization) bisa jadi dengan kondisi yang lebih parah dari kondisi sebelumnya. Kondisi ini merupakan kondisi yang harusnya tidak terjadi bila pelayanan kesehatan dilakukan dengan tatakelola yang baik. Rehospitalization yang tidak perlu ini tentunya akan semakin meningkatkan biaya pelayanan kesehatan yang harus ditanggung BPJS.
Apa dampaknya bagi masyarakat? dengan meningkatnya biaya pelayanan kesehatan, mau tidak mau premi yang harus dibayar oleh peserta juga semakin tingg.
Apa yang dapat dilakukan? BPJS - Provider senantiasa mengembangkan pelayanan kesehatan yang berfokus pada pasien, melalui upaya Patient safety dan cost effectiveness, sedangkan peserta (masyarakat) diharapkan senantiasa menjaga kesehatan perorangan maupun lingkungan serta turut memberikan "pengawasan" terhadap pelayanan kesehatan yang diterima.
SALAM SEHAT untuk semua.
Komentar